Menjadi gubernur di Jakarta tampaknya menjanjikan batu loncatan ke jabatan yang lebih tinggi.
Setidaknya ini terlihat dari banyaknya kandidat yang bersaing di pemilihan gubernur Jakarta 2012. Dari enam calon yang bersaing, dua calon sebenarnya masih menjabat sebagai gubernur dan walikota di tempat lain.
Mereka rela meninggalkan jabatan sekarang untuk menawarkan jasa bagi Jakarta dan 9,6 penduduknya. Mungkin juga karena masalah Jakarta begitu menantang.
Saya sendiri menganggap wacana tentang “masalah” Jakarta sebenarnya sudah cukup. Solusi-solusi sudah ada pilihannya. Tinggal memilih dan melaksanakan dengan seksama, tekun, dan kerja keras. Jadi pertanyaannya adalah memang siapa yang dapat melaksanakan, bukan menawarkan solusi-solusi teknis.
Ada calon-calon yang melompat pagar antardaerah dan antarpartai politik. Pada waktu ini mungkin kita layak curiga. Tapi baik juga melihat sisi positifnya. Pertama, Jakarta memiliki lebih banyak pilihan karena cagub-cawagub dapat datang dari daerah mana saja.
Hanya ada yang janggal rasanya: mengapa pemilih harus penduduk daerah yang bersangkutan, sedangkan yang dipilih tidak harus demikian. Tapi ini urusan para “ahli demokrasi”.
Kedua, kemudahan lompat pagar antarpartai politik berarti ada penekanan pada figur pemimpin. Dia lebih penting daripada partainya. Dia layak memiliki kemungkinan didukung oleh partai selain partai asalnya.
Tetapi, juga muncul pertanyaan: Nanti kalau terpilih, bekerja sama dengan DPRD bagaimana, karena DPRD adalah representasi partai-partai? Apakah tidak akhirnya yang akan bermain adalah uang? Ini pertanyaan untuk para “pengamat politik.”
Ada yang mencoba menjelaskan, bahwa koalisi ideologi sudah mati, yang berlaku adalah koalisi programatis. Tapi PDIP menyatakan memutuskan tidak mendukung Fazi Bowo karena alasan ideologis. Selain itu, apakah sungguh ada program yang menjadi dasar bagi koalisi pada pasangan-pasangan itu?
Enam pilihan kandidat itu banyak. Kita akan melihat nanti apakah warga Jakarta sungguh terbelah-belah menjadi enam, atau akan mengerucut pada hanya satu atau dua pilihan saja. Ini akan mempengaruhi kemudahan memerintah (governability) Jakarta, mentransformasikannya menuju kelestarian.
Mana kandidat yang layak pilih? Imbauan klasik adalah: lihat pilihan-pilihan yang mereka tawarkan; lihat bagaimana cara mereka akan melakukannya; dan lihat karakter mereka apakah akan konsisten serta persisten atau tidak. Saya pribadi akan mencoba merasakan apakah calon memiliki kemampuan mencintai rakyatnya, sebagaimana yang dulu kita rasakan pada Ali Sadikin, melebihi cinta kepada ego masing-masing.
Pemilihan gubernur Jakarta akan berlangsung pada 11 Juli 2012. Semoga dalam waktu kurang dari empat bulan mendatang, warga Jakarta punya cukup kesempatan untuk memperhatikan hal-hal di atas.
Sementara itu, harap mereka tetap bersabar mengarungi kemacetan dan kehidupan Jakarta yang makin sulit.
Setidaknya ini terlihat dari banyaknya kandidat yang bersaing di pemilihan gubernur Jakarta 2012. Dari enam calon yang bersaing, dua calon sebenarnya masih menjabat sebagai gubernur dan walikota di tempat lain.
Mereka rela meninggalkan jabatan sekarang untuk menawarkan jasa bagi Jakarta dan 9,6 penduduknya. Mungkin juga karena masalah Jakarta begitu menantang.
Saya sendiri menganggap wacana tentang “masalah” Jakarta sebenarnya sudah cukup. Solusi-solusi sudah ada pilihannya. Tinggal memilih dan melaksanakan dengan seksama, tekun, dan kerja keras. Jadi pertanyaannya adalah memang siapa yang dapat melaksanakan, bukan menawarkan solusi-solusi teknis.
Ada calon-calon yang melompat pagar antardaerah dan antarpartai politik. Pada waktu ini mungkin kita layak curiga. Tapi baik juga melihat sisi positifnya. Pertama, Jakarta memiliki lebih banyak pilihan karena cagub-cawagub dapat datang dari daerah mana saja.
Hanya ada yang janggal rasanya: mengapa pemilih harus penduduk daerah yang bersangkutan, sedangkan yang dipilih tidak harus demikian. Tapi ini urusan para “ahli demokrasi”.
Kedua, kemudahan lompat pagar antarpartai politik berarti ada penekanan pada figur pemimpin. Dia lebih penting daripada partainya. Dia layak memiliki kemungkinan didukung oleh partai selain partai asalnya.
Tetapi, juga muncul pertanyaan: Nanti kalau terpilih, bekerja sama dengan DPRD bagaimana, karena DPRD adalah representasi partai-partai? Apakah tidak akhirnya yang akan bermain adalah uang? Ini pertanyaan untuk para “pengamat politik.”
Ada yang mencoba menjelaskan, bahwa koalisi ideologi sudah mati, yang berlaku adalah koalisi programatis. Tapi PDIP menyatakan memutuskan tidak mendukung Fazi Bowo karena alasan ideologis. Selain itu, apakah sungguh ada program yang menjadi dasar bagi koalisi pada pasangan-pasangan itu?
Enam pilihan kandidat itu banyak. Kita akan melihat nanti apakah warga Jakarta sungguh terbelah-belah menjadi enam, atau akan mengerucut pada hanya satu atau dua pilihan saja. Ini akan mempengaruhi kemudahan memerintah (governability) Jakarta, mentransformasikannya menuju kelestarian.
Mana kandidat yang layak pilih? Imbauan klasik adalah: lihat pilihan-pilihan yang mereka tawarkan; lihat bagaimana cara mereka akan melakukannya; dan lihat karakter mereka apakah akan konsisten serta persisten atau tidak. Saya pribadi akan mencoba merasakan apakah calon memiliki kemampuan mencintai rakyatnya, sebagaimana yang dulu kita rasakan pada Ali Sadikin, melebihi cinta kepada ego masing-masing.
Pemilihan gubernur Jakarta akan berlangsung pada 11 Juli 2012. Semoga dalam waktu kurang dari empat bulan mendatang, warga Jakarta punya cukup kesempatan untuk memperhatikan hal-hal di atas.
Sementara itu, harap mereka tetap bersabar mengarungi kemacetan dan kehidupan Jakarta yang makin sulit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar